Andai ku Tahu



Suara adzan subuh di seantero masjid dan mushola Samirono mulai diperdengarkan. Tersisalah aku yang yang masih teronggok di atas kapuk persegi panjang dengan malasnya, mendengarkan, lalu sejenak memejamkan mata lagi. Astaghfirullah.. setelah lima belas menit kemuadian aku bergegas untuk segera meninggalkan tempat itu dan mulai mengambil air wudhu di kamar mandi yang terhitung hanya sekitar dua meter dari kamarku. Aku memang harus rajin pagi ini, karena pukul 07.00 nanti ada agenda pembekalan microteaching dari prodi PBI. 

Suasana pagi yang sejuk dan damai, semilir angin yang segar, hijaunya pohon beringin yang menari-nari ditiup angin, setiap pagi mereka menyambutku mengucapkan selamat pagi, tetapi tidak untuk pagi ini. Pagi ini jauh berbeda dengan pagi-pagi yang selalu menyapaku. Suasana pagi yang lengang, pucat, dan putih yang kutemui. Ya Rabb, pertanda apa ini? Apakah ini suatu peringatan bagiku agar aku sedikit bangun lebih pagi untuk menunaikan perintahMu? Teman-temanku dikos yang biasanya sudah mulai beraktifitas belum satupun menampakkan batang hidungnya. Mereka masih dibelenggu oleh kapuk-kapuk terkutuk itu. Segera kucari teman ke lorong belakang apakah ada yang sudah terjaga untuk sekedar bertanya, ada apa dengan pagi ini? Hanya satu orang yang kutemui saat itu, Ina.

Malam harinya, 13 Februari, sebelum kupejamkan mata  merebahakan badan yang sudah lelah seharian beraktifitas smapai jam sepuluh malam, terdengar kabar dari Kediri Jawa Timur bahwa Gn.Kelud memuntahkan laharnya. Kabar yang kubaca lewat kicauan burung pukul 23.00 itu bahkan sudah santer diberitakan juga di berbagai media sosial. Muntahan lahar, berbagai material, serta abu vulkanik dikirimkan hingga kotaku ini, Jogja. Segera kuambil air wudhu, menuanaikan perintah 2 roka'at, wiridan, doa, seperti biasanya. Setelah aku menuanaikan Solat, kos sudah mulai ramai, mereka sudah terjaga dan meninggalkan kamar tidur masing-masing, bergegas untuk melihat keadaan di luar. Segera kuambil kotak batang biru donker untuk saling berkabar, kukabarkan kepada Ibuk di rumah, "Buk, Jogja hujan abu, Nggriyo pripun?", kukirim juga kabar ke kawanku yang sudah tersebar di berbagai belahan pulau Jawa, Deve, kukabarkan mereka leawat Whatsapp. Alhamdulillah, mereka baik-baik saja meskipun mengalami hal yang sama dengan kondisi ditempaku saai ini. Mereka yang juga merantau didaerah Jawa Timur, tepatnya Kota Apel, alhamdulillah mereka baik-baik saja.

Pagi yang berbeda memang, belum pernah kutemui pagi sepucat pagi ini. Empat belas Februari, sungguh sangat berbeda. Kotak persegi panjang itu berdering (lagi) dengan membawa pesan dari sahabatku, Tiya. "Udan awu nggonku cin, pie nggonmu?" saling mengabarkan kondisinya. Tidak hanya itu, kabar yang disampaikan kedua sungguh kabar yang mencengangkan, kabar yang suatu saat nanti juga akan kutemui. "Iya, ini ibu.e Febri meninggal", balasnya dengan singkat. Innalillahi wa innailaihi roji'un.... Semoga amal ibadah ibunda Febri diterim disisi Allah SWT, diberikan ketabahan juga kepada Febri dan keluarga. Kami memang sudah bersahabat sejak SD, aku Tiya, Febri. Disaat yang seperti ini, Engkau berikan peringatan, bukan hanya peringatan yang akan menyadarkan manusia untuk kemabali mengingatMu. Pagi ini, Engkau kembali mengingatkanku dengan kematian. 



Depan kamar: Samirono Baru 54C Depok Sleman
Katakanlah: "Hai manusia,sesungguhnya aku adalah seorang pemberi peringatan yang nyata kepadamu". Q.S Al Hajj ayat 49

Yogyakarya, 14 Februari 08:15

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Menerapkan Meritrokasi dalam Pendidikan di Indonesia, Siapkah?

Dirampas Kenangan

Merdu Rindu