Nabi Sulaiman, Perintahkan Angin Untukku
Pelan–pelan aku picingkan
mata yang sejak semalam sudah terkutuk untuk terpejam. Semburat cahaya kuning
mulai menyelinap melalui celah ventilasi kamar. Silau. Membuka mata lebar-lebar
lalu meloncat meninggalkan kasur busa biru
pemberian bapak kos. Aku di Magelang weekend ini. Merapikan segala hiruk pikuk
tugas KKN-PPL yang membuatku semakin tidak karuan dengan pola hidupku. Minggu
depan harus beres semuanya, gumamku dalam hati dengan geram. Aku mau
berlelah-lelah dengan ini asalkan semuanya segera selesai, karena ibuku sudah
menantiku dengan segudang rasa rindunya. Anak rantau yang merantau rela
meninggalkan segala manis manja kehidupan keluarga. Dua bulan. Ya, aku belum
menengok keluarga selama dua bulan ini. Rindu tak terperi. Sepertinya aku sudah
lupa bagaimana caranya pergi ke stasiun untuk memberli tiket, pulang naik
kereta, turun di St. Purwosari … . ah, sudahlah, semuanya memang harus ada yang
dikorbankan.
Suara kendaraan bermotor
lalu lalang di jalan depan kos diiringi sautan suara gesekan sapu bapak Yanto menemani diri ini yang jatuh dalam perihnya kerinduan. Perjalanan di tanah
rantau yang terasa begitu panjang. Kota sejuta bunga. Kota Magelang.
Terimakasih atas kebahagiaan yang aku dapatkan, terimakasih atas persaudaraan
yang terjalin dengan erat, dan terimakasih atas keakraban yang tumbuh dengan
begitu alami, dan terimakasih atas segala untaian pengalaman yang akan terus
tersimpan dalam album kenangan yang terindah. Terimakasih kota Magelang, akan kurawat kenangan ini.
Angan
ini kembali melayang. Jauh melesat melewati jalan yang berkelok melewati
perbukitan, jurang, hutan-hutan, singgahlah di sebuah tanah yang lapang. Halaman
rumah. Aku merindukanmu, sangat merindukanmu. Akan kupinta Nabi Sulaiman untuk
memerintahkan angin, membawaku pulang ke pangkuanmu, Ibu.
Tidar Utara, Kota Magelang, 07:05
Komentar
Posting Komentar