Seratus delapan puluh menit Untukmu
Suasana
kota Solo siang itu tak jauh beda dari
biasanya, panas, gerah, mendung, tapi tidak hujan. Dengan langkah gontai aku
melangkahkan kaki dari ruangan 16A Paviliun Cendana 2. Sebenarnya hati ini
masih berat meninggalkan beliau yang masih belum sadar sempurna dan masih
terbaling lemah, sangat lemah di bed
yang bersprei hijau itu. Tapi, tugas ditanah rantau sudah harus kembali disapa.
Pun dengan sms partner KKN ku yang memintaku segera kembali ke basecamp. Ya, aku sedang manjalani KKN
sekaligus PPL di kota Magelang saat ini. Kepulanganku yang malah pulang ke rumah
masyarakat kurang sehat ini hanya semata untuk memberi semangat ibuku yang akan menjalani
kebebasan dari penyakitnya. Ibuku mau operasi gondok pagi itu.
Pagi
itu, pukul 07.00 seorang perempuan mengenakan seragam pink menyerahkan baju
ganti ke kamar ibuku. “Ini bajunya ya”, katanya. Baju itu berwarna biru endog bebebk sudah agak sedikit nggak biru juga, hanya
atasan, tak berkancing, tetapi ada beberapa pasang tali sebagai penggantinya.
Ya, itu adalah kostum ibuku nanti ketika menjalani operasi bedah.
Suasana
pagi yang cukup membuat ngantuk, maklum habis sahur aku tidak tidur sedikitpun,
aku rela nungguin si “doi” (Messi-red) berlaga menantang D’Orange. Cukup
menengangkan pula. Tensi ibuk yang naik jadi 150, mungkin beliau agak khawatir
juga. Padahal semalam pakdhe sama mbak Nunul suda bilang “Wong doktere ki nek
ngoprasi sambi singsot-singsot”, katanya sambil ketawa renyah. “pas aku operasi
tinggal nonton tipi barang, ra ngrasakne kene sing meh operasi” Pakdhe Bas
menimpali. Sontak ruangan itu mendadak
menjadi agak rame karena pakdhe sama mbak Nunul memang reyah orangnya. Kurasa ibuku juga sudah pasrah Lillahi
Ta’ala. Semua diserahkan kepada Allah. Apapun hasilnya.
Pukul
08.00, seseorang datang membawa kursi roda ke kamar kami. Seorang suster cantik
memakai seragam pink. Ya, itu kursi
untuk mengevakuasi ibukku ke ruangan eksekusi. Aku, Lik Ilik, Budhe Ni,
berbondong-bondong mengantarkan ibuk. Nha, ada yang ilang. Bapak. Ada semacam
drama-drama gitulah pokonya. Tapi bukan drama adu pinalti. #Kefain.
Bak
orangtua yang akan melepaskan anaknya merantau bertahun-tahun di negeri orang.
Begitulang yang terjadi pagi itu. Melepaskan ibu untuk terbebas dari
penyakitnya. Saling bersalaman, meberikan doa restu, semoga semuanya lancar.
Suasana ruang tunggu yang ramai dengan banyak keluarga pasien tetapi lengang
akan suara mengiringi penantian kami selama tiga jam berikutnya. Kami menunggu
sesorang yang akan memanggil “Keluarga ibu Tiyarsi”. Itu Saja, tidak lebih.
Waktu
penantian kami pun usai ketika seorang suster memanggil kalimat yang memang
kami tunggu sejak tadi. Aku, Pakde Bas, Budhe Bas, Budhe Ninik, Lik ilik
berlari-lari kecil mengikuti bed yang sedang digiring seorang suster ke ruangan di sebelah kiri ruang tunggu. Menanti da terus menanti. Ibu mana ya,,, mmmmm., gumamku. Kurasa semua juga menunggu demikian. Akhirsa, dua orang suster membawa seorang pasien keluar ruangn. Itulah orang yang kami tunggu sejak beberapa waktu lalu. Ibuku. Kamipun segera merapatkan barisan si sekeliling bed ibu. Saling memberikan salam bak seorang anak yang sedang menyambut orangtuanya setelah lama pergi merantau. Alhamdulillah, ibu sudah sadar, walau belum sadar penuh.
Tik.. tok.. tik .. tok... jarum jampun terus saja berputar mengelilingi lingkaran jajaran angka-angkanya. Pukul dua siang. Berat sekali rasanya, pulang ke kos Jogja, besok paginya ke kos Magelang. Huhh.. rasanya ingin pinjam pintu ajaib Doraemon saja aku. Ah.. lupakan. Kulirik jam tanganku yang masih tergeletak di meja, ah, sudah pukul dua lebih dua puluh menit. Mau nggak mau aku harus segera berkemas kalau nggak mau dapat tiket kereta malam. Satu persatu barang-barang yang aku perlukan segera aku kemas seperti ritual yang biasa aku lakukan menjelang back to dormit.
Bergegas aku pamit ke semuanya, pamit ibu juga yang hanya bisa pake bahasa isyarat pasca itu. Pamit Bapak, turun tangga, keluar RS diantar Lik Ilik. naik bus Koridor 3. Teng .. teng.. teng .. teng... suara hape bunyi. "Halo, lhoh hapeku ketuker budheeeeee.......", aku teriak2 nggak jelas sembari mengangkat telpon budheku. Sudah gusar pusing mumet gatau harus gimana lagi. Waktu semakin sore. Nggak mungkin aku minta bapak nganter hapenya ke Purwosari. Perjalanan angkotku sudah sampai Mangkunegaran. Ah, semua ini memang salahku, selalu saja melakukan hal-hal bodoh. Ceroboh. Dingapunten nggih pak, buk.
Tik.. tok.. tik .. tok... jarum jampun terus saja berputar mengelilingi lingkaran jajaran angka-angkanya. Pukul dua siang. Berat sekali rasanya, pulang ke kos Jogja, besok paginya ke kos Magelang. Huhh.. rasanya ingin pinjam pintu ajaib Doraemon saja aku. Ah..
Bergegas aku pamit ke semuanya, pamit ibu juga yang hanya bisa pake bahasa isyarat pasca itu. Pamit Bapak, turun tangga, keluar RS diantar Lik Ilik. naik bus Koridor 3. Teng .. teng.. teng .. teng... suara hape bunyi. "Halo, lhoh hapeku ketuker budheeeeee.......", aku teriak2 nggak jelas sembari mengangkat telpon budheku. Sudah gusar pusing mumet gatau harus gimana lagi. Waktu semakin sore. Nggak mungkin aku minta bapak nganter hapenya ke Purwosari. Perjalanan angkotku sudah sampai Mangkunegaran. Ah, semua ini memang salahku, selalu saja melakukan hal-hal bodoh. Ceroboh. Dingapunten nggih pak, buk.
Komentar
Posting Komentar